Air mataku jatuh bersama seketika langit meneteskan air ke
bumi. Diam, hanya itu yang bisa aku lakukan. Sakit sangat sakit hanya itu
yang bisa kurasakan. Perlahan air
mengalir dari kelopak mata menuju pipiku dagu dan jatuh menetes tetes demi
tetes makin banyak dan kini mengalir sangat deras seperti hujan diluar sana.
“Ke..napa?” aku berusaha mengeluarkan suaraku walaupun sulit rasanya dan yang
dihasilkanpun hanya gumaman pelan dan gemetar.
“Kee..na..pa? Sece..pa..t..ini?” aku kembali mengeluarkan suaraku
tapi hasilnya sama saja gumaman pelan dan gemetar.
“…….” Hening. Tak ada satupun yang menjawab. Sebagian
menundukan kepala sambil menangis sangat sedih. Sebagian kini menatapku dengan
raut wajah kasian atau apa itu aku tak tahu pasti, aku tak mau lagi
memperhatikannya. Aku tak suka raut wajah itu.
Sekian lama aku menunggu jawaban tak ada satupun diantara
mereka yang menjawab. Aku menyerah kini pandanganku seketika kabur dan gelap.
----------------------------------------------------------------------------
“Kau suda sadar?” aku mendengar suara seseorang dengan nada
yang sangat kahwatir. Aku melirik sekitar ruangan. Emm bau ini, ini rumah
sakit.
“Ya! Hyeri-ssi kau baik-baik saja kan?” tanyanya lagi tambah
kawahtir.
“…” aku hanya terdiam menatap kosong ruangan sekitar. Aku
tidak tahu apa perasaanku sekarang. Aku masih tidak percaya dengan apa yang
baru saja terjadi.
“Hyeri-ssi jawab aku? Kau sudah pingsan selama dua hari apa
kau baik-baik saja sekarang?” tanyanya lagi tambah cemas.
“apa dua hari?” akhirnya aku mengeluarkan suaraku walau
dengan lemas.
“Ne ini sudah dua hari semenjak kejadian itu, kau baik-baik
saja kan?” tanyanya kini dengan suara yang lembut.
“…” aku kembali tidak menjawab. Aku memandang kosong
kedepan. Itu sudah dua hari yang lalu rupanya. Jadi itu bukan mimpi? Aku masih
mengharapkan kalu itu semua hanya mimpi tapi apadaya itu semua kenyataan.
Kenyataan pahit yang tidak bisa kutrima. Perlahan air mata kembali mengalir ke
pipiku. Aku memejamkan mataku mengingat kejadian itu..
---------------------------------------------------------------------------
“haha..kau tidak bisa menangkapku kan?” teriaknya dengan
nada mengejek.
“Ya! Siapa bilang? Aku bisa mengejarmu!” teriaku tak mau
kalah. Aku kembali mengejarnya dengan sekuat tenaga tapi tak kunjung juga aku
mendapatinya.
“Ya! Aku menyerah kau cepat sekali! Aku sudah tidak kuat” teriaku
dengan nafas yang tersengah-sengah.
“Jinjja? Jadi hanya sampai disitu kekuatanmu? Hahaha”
teriaknya mengejeku. Aku tak menghiraukan teriakan itu kini aku benar-benar
sudah tidak kuat. Coba saja kau bayangkan aku sudah hampir 2 jam mengejarnya
dan belum pernah sekalipun aku berhasil menangkapnya.
“Ya! Baiklah sepertinya kau sudah benar-benar menyerah haha”
dia berjalan mendekat kearahku. Lalu merebahkan badannya disampingku. “Langit
yang indah” ucapnya.
Aku ikut merebahkan diri disampingnya. Memandang awan yang
terus berjalan terbawa angin. “Indah” ucapku pelan dengan tatapan ke langit.
“Hyeri..” panggilnya.
“ne?”
“apa kau mau jadi pacarku?” tanyanya dengan masih menatap
langit.
“ha? Kau bercanda haha” jawabku juga dengan masih menatap
langit.
“ini serius” ucapnya kini menghadap kearahku.
“Kau yakin?” seketika aku bangun dan duduk menatapnya yang
masih tiduran.
“Ne!” ucapnya tegas mengikutiku duduk.
“…” diam aku hanya bisa diam menatapnya.
“Mulai sekarang kau jadi pacarku! Ara?!” ucapnya tegas
menatap mataku dalam.
“aku belum menjawab”
“tidak menjawab artinya iya!” ucapnya kini dengan senyum
manisnya.
“Kajja! Ayok kita pulang” ucapnya lagi sambil meraik
lenganku berdiri.
Lee Jung Hwan dia adalah sahabatku sejak kecil. Rumahnya tak
jauh dari rumahku. Waktu kecil hampir setiap hari kami bermain ditaman dekat
rumah. Walupun hanya berdua tak tahu mengapa itu sangat menyenangkan. Sejak TK
kami sudah satu sekolah sampai sekarang kami satu SMU. Tapi akhir-akhir ini
Jung Hwan terlihat sangat sibuk aku hampir setiap hari tak melihatnya
dikabarkan katanya dia sakit akibat kelelahan. Tapi mendadak dia menhubungi ku
dan mengajakku bermain ditaman tempat kami bermain dulu. Dia terlihat sehat.
Dan dia memintaku untuk jadi pacarnya..
Senang sangat senang itu yang kurasakan. Sepertinya aku
sudah jadi orang gila seharian ini aku tak bisa berhenti tersenyum dan tertawa
kecil mengingatnya. Sebenarnya dari dulu aku sudah menyukainya tapi aku tak
berani mengungkapkanya karena menurutku lebih baik bersahabat tapi ternyata dia
juga menyukaiku aku senang sekali.
Hari demi hari kami lewati, setiap hari Jung Hwan selalu
menjemput dan mengantarku pulang. dia terlihat sangat lelah dan kurang sehat.
“Jung Hwan kau baik-baik saja?” tanyaku kawahtir.
“aku baik-baik saja, kajja kita pulang” jawabnya dengan
senyum.
“Tapi kau terlihat pucat, lebih baik kau tak usah
mengantarku pulang” cemasku.
“Tidak apa, aku sehat kok!” jawabnya lagi-lagi dengan wajah
ceriah dan senyum.
Aku tak bisa lagi merayunya untuk tidak usah mengantarku
karena seberapa kerasnya aku melarangnya dia akan tetap menjawab dengan senyum
seolah-olah dia sehat.
“sudah sampai kau pulanglah, istirahat sana” usirku.
“Ne, oiya besok kau ada waktu?”
“ya ada apa?”
“besok kita ketaman hiburan, jam 10 aku akan menjemputmu
ditaman, oke?”
“Iya baiklah” jawabku bahagia. “sudah sana kau pulanglah
istirahat agar besok kau sehat”
“sebentar”
“ada apa lagi?” tanyaku heran.
Perlahan Jung Hwan mendekatkan wajahnya padaku dan mengecuku
lembut, aku kaget tak sempat aku katakana apapun dia langsung lari
meninggalkanku.
“Mian, sampai jumpa besok!” teriaknya sambil berlari menjau
dari ku dengan nada suara bahagia ya aku bisa merasakan itu.
Keesokan harinya aku menunggu tepat jam 10 ah tidak bahkan
ini lebih cepat dari waktu yang ditentukan
ditaman. Menunggunya datang menjeputku. Aku sangat bahagia hari ini
sampai-sampai aku tidak bisa tidur. Ini berarti kencan pertamaku bukan? Haha.
Satu jam berlalu dia belum kunjung datang, dua, tiga jam dia tak kunjung datang
juga. Aku mulai cemas tak bisa diam mondar mandir mengelilingi taman sekitar.
“haaa..”aku menghela nafas panjang menatap langit yang kini
sudah gelap bertanda akan hujan.
“apa dia sedang sibuk?” tanyaku sendiri.
Aku melirik jam tangan sekarang sudah pukul 3 sore. Apakah masih sempat? lagi pula sudah mau hujan pikirku.
Dengan berat hati aku melangkah pulang kerumah. Ditenggah perjalanan ponselku
berbunyi memainkan lagu kesukaanku.
“Yeobseo?”
“…….” Lemas. Seketika tubuhku lemas. Aku seketika berlari
kencang menuju rumah sakit. Panik cemas dan bingung apa yang harus kulakukan.
Sesampainya dirumah sakit aku mencari ruangannya dan aku
menemukan banyak orang disana dengan baju hitam. Rangkaian bunga dan suasana
duka. Apa-apaan ini? Ha? Aku tidak bisa menerimanya! Kesal sakit sedih kecewa
semua rasa itu bercampur menjadi satu.
--------------------------------------------------------------------
Dia ternyata mengidam kanker otak. Sudah sejak masuk SMU dia
mengalami sakit ini. Aku sahabat dari kecilnya bahkan tidak tahu sama sekali.
Dia terlihat sehat dari kecil tak ada cacat sedikitpun pada dirinya.
Hari dimana dia mengajakku bermain dan menyatakan
perasaannya. Dia sudah tahu kalu waktunya tidak akan lama, dalam keadaan sakit
dia masih tetap berlari kencang bermain bersamaku seolah tak terjadi apapun
padahal hari itu dia izin ke dokter untuk tidak diraawat hanya demi bermain
denganku. Hari saat dia mengantarku pulang hari itu dia benar-benar tidak sehat
tapi dia tetap berusaha terlihat sehat didepanku bahkan mengantarku pulang.
sesampainya dirumah ternyata dia benar-benar tidak kuat dan langsung dilarikan
kerumah sakit. Dirumah sakit kondisinya benar-benar buruk dan sampailah tibah
waktunya Tuhan memanggilnya…
Kini aku berdiri didepan tempat tidur barunya dengan
rangkain bunga ditanganku dan sebuah surat darinya.
“Mian..” ucapku pelan.
“Mian aku baru bisa mengunjungimu, mian aku tidak
mengantarmu untuk terakhir kalinya, mian aku belom memberikan apapun untukmu,
mian…” kini aku tidak bisa menahannya lagi air mataku kembali keluar dengan
derasnya.
“Kau..pabo!” ucapku masih dalm tangisan.
“kenapa kau tidak bilang padaku? Kenapa kau berpura-pura
sehat didepanku? Kenapa kau tidak datang pada kencan pertama kita? Kenapa?”
tangisku makin menjadi-jadi.
Sepi tak ada yang menjawab hanya serpaan angin yang
berhembus dingin. Aku menangis meraung-raung tidak peduli dengan sekitar yg
memang hanya ada aku sendiri.
“kenapa kau sembunyikan penyakitmu dari ku?” kini tanyaku
lebih lembut.
Tetap sepi tak ada jawaban.
Mengetahui bertanya disini tak ada gunanya, aku meletakan
karangan bunga yang kupegang pada peristirahatan terakhirnya sejenak kupandan
foto wajahnya. Dia tersenyum manis sangat manis dia sangat tampan. Dengan berat
hati aku melangkah pergi. Baru beberapa langkah aku kembali menoleh kepadanya.
“Lee Jung Hwan saranghae…” ucapku lembut dengan senyum
disertai hembusan angin yang menerbangkan rambutku. Sayup-sayup kudengar
suaranya menjawanku Nado Saranghae Lee
Hyeri. Aku kembali melanjutkan langkahku sambil menghapus air mata yang tak
henti mengalir.
-
THE END -